Fiiuuhh..
Tugas-tugas terselesaikan, giliran UAS meminta untuk ditemani. Sekolah tidak lelah-lelahnya membuat penghuni sekolah yang sudah lelah semakin lelah. Sepulang sekolah, setumpuk buku meraung-raung meminta pemiliknya untuk segera membacanya agar tak sia-sia mereka diciptakan. Sang empu berusaha belajar dengan otaknya, meskipun tangan tak henti-hentinya memencet keypad hp yang sudah kocak ataupun sudah tak berupa karena huruf-hurufnya sudah terhapus akibat ulah tangan sang empu (makanya touch screen dong! Jadul :p).
Malam tiba. Sang empu lelah memandangi bukunya dan sang buku pun sepertinya tidak ingin dibaca lagi karena sudah terlalu malu dipandangi sang empu terus menerus. Berniat makan ataupun sekedar ngemil di malam hari mungkin bisa mengobati rasa lelah mata, otak dan tentunya tangan. Ditemani televisi yang tak henti-hentinya mengoceh sepanjang hari seolah berkata bahwa ia hidup selamanya dan tak akan pernah mati menemani sang pemilik jika ia penat. Sang pemilik seakan dibuai hingga tak memikirkan tagihan listrik yang siap menantinya (gak peduli, yang bayar kan ortu).
Setelah terasa cukup bosan memandangi televisi, beranjaklah ke kamar. Hal yang terjadi memang tak selalu seperti tujuan awal. Berniat merebahkan diri beralih menjadi pekerjaan sehari-hari yang tak boleh absen dari daftar hadir kegiatannya. Orang-orang menyebutnya “OL”. Saking cintanya, tak lupa setiap hari akan selalu mengecek keadaannya. Apapun yang “dikatakan”, tak akan pernah lupa untuk meng”comment” mesra semuanya. Sampai-sampai lupa untuk membiarkan otaknya mengatur nafas yang tersengal-sengal karena lelah maraton menjejaki halaman-halaman buku. Saat sudah tidak kuat lagi, akhirnya menutup tirai penglihatannya. Entah karena berniat atau ketiduran, itu bukanlah suatu masalah penting baginya (untuk sementara itu).
Esoknya, bangun telat mungkin sudah terlalu biasa. Bersiap mandi, sarapan, dan menyiapkan buku-buku kesayangannya (--“). Saking buru-burunya, tak sadar bahwa ia belum sholat. Ia menjadi ragu memikirkannya karena hal itu memang benar. Tapi sejenak kemudian, ia tak menghiraukan lagi pikiran yang singgah itu. Ia berkata bak calon presiden yang sedang berkampanye untuk meminta dukungan, “aku janji besok pasti aku lakukan dan tidak melupakannya lagi. Itu janjiku untuk kewajibanku (dan mungkin harus selalu ada yang mengingatkan, “kau berjanji yang sama kemarin”).
0 komentar:
Posting Komentar